Mengapa Eramet dan BASF Hengkang dari Proyek Smelter Sonic Bay Senilai $2,6 Miliar di Maluku Utara?

Mengapa Eramet dan BASF Hengkang dari Proyek Smelter Sonic Bay Senilai $2,6 Miliar di Maluku Utara?

Smelter Sonic Bay

Perusahaan tambang asal Prancis, Eramet, dan perusahaan asal Jerman, Badische Anilin- und Soda-Fabrik (BASF), memutuskan hengkang dari proyek Smelter Sonic Bay yang berlokasi di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.

Keputusan ini mengejutkan banyak pihak mengingat nilai investasinya yang mencapai USD 2,6 miliar.

Menurut laporan Reuters1https://www.reuters.com/markets/commodities/eramet-basf-cancel-plan-invest-26-billion-refining-complex-indonesia-2024-06-24/, Eramet enggan memberikan penjelasan rinci mengenai alasan di balik pembatalan investasi tersebut.

“Setelah evaluasi menyeluruh, termasuk diskusi mengenai strategi pelaksanaan proyek, kedua mitra telah memutuskan untuk tidak melakukan investasi ini,” kata Eramet dalam siaran persnya pada Rabu (26/6).

Eramet menambahkan bahwa mereka akan terus mengevaluasi potensi investasi dalam rantai nilai baterai kendaraan listrik nikel di Indonesia dan akan memberikan informasi terbaru kepada pasar pada waktunya.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, mengungkapkan bahwa kedua perusahaan telah memberitahukan pemerintah tentang keputusan mereka untuk mundur dari proyek Smelter Sonic Bay tersebut.

Proyek Smelter Sonic Bay dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitates (MHP) tersebut, katanya, memang sedang dalam proses pembangunan.

“Saya kira pembatalan ini karena melihat HPAL di Indonesia sudah banyak, sehingga lebih mudah mendapatkan PLTMH (campuran endapan hidroksida), sehingga tidak perlu mengeluarkan capex yang besar untuk membangunnya sendiri,” jelas Seto.

Investasi Proyek Smelter Sonic Bay Senilai USD 2,6 Miliar

Pada Januari 2023, pemerintah menyatakan bahwa Eramet dan BASF hampir menyelesaikan investasi senilai USD 2,6 miliar dalam produksi nikel untuk digunakan dalam baterai kendaraan listrik.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bahkan telah melakukan pertemuan langsung secara tertutup dengan CEO BASF, Martin Brudermüller, di Paviliun Indonesia, Davos, Swiss, pada Selasa (17/1).

Dalam pertemuan tersebut, Bahlil mendorong rencana investasi pemurnian nikel untuk keperluan pengembangan kendaraan listrik di Maluku Utara dan menyatakan dukungan penuh terhadap rencana investasi BASF di Indonesia.

Rencananya, BASF akan bekerja sama dengan Eramet yang telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN).

Alat Berat
Alat Berat
Alat Berat
ALAT BERAT
ALAT BERAT (LOADER)
ALAT BERAT (EXCAVATOR)
Previous Arrow
Next Arrow

Proyek Smelter Sonic Bay ini diperkirakan akan meraup nilai investasi sebesar USD 2,2 miliar hingga USD 2,6 miliar dengan kapasitas produksi 67 ribu ton nikel per tahun dan 7,5 ribu ton kobalt per tahun.

Rencana investasi tindak lanjut BASF sendiri bertujuan untuk memproduksi MHP menjadi prekursor baterai listrik.

Namun, semua harapan ini harus pupus setelah pengumuman resmi bahwa Eramet dan BASF memutuskan hengkang dari proyek Smelter Sonic Bay tersebut.

Alasan pasti di balik keputusan ini masih menjadi tanda tanya, namun diperkirakan terkait dengan penilaian ulang terhadap strategi dan biaya pembangunan smelter di Indonesia.

Dengan hengkangnya dua perusahaan besar ini, masa depan proyek Sonic Bay dan pengembangan industri baterai kendaraan listrik di Indonesia akan menghadapi tantangan besar.

Pemerintah pun harus mencari cara untuk menarik kembali investasi asing guna mendukung visi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri kendaraan listrik dunia.

Proyek Smelter Sonic Bay - Mengapa Eramet Dan Basf Hengkang Dari Proyek Smelter Sonic Bay Senilai $2,6 Miliar Di Maluku Utara?Share on Whatsapp

Related Images:

Sumber Rujukan :

  • 1
    https://www.reuters.com/markets/commodities/eramet-basf-cancel-plan-invest-26-billion-refining-complex-indonesia-2024-06-24/